The Armenian Velvet Revolution as a comparison in the effort to build Democracy in Belarus.
Pecahnya Uni Soviet pada 1991 menandai gelombang demokratisasi ketiga (third wave democratization). Ketika itu negara-negara eks-Uni Soviet diprediksi akan segera mengalami demokratisasi, namun kenyataannya transisi demokrasi terjadi tidak merata dan lebih lambat dari yang diprediksi (Norling & Cornell, 2016). Institusi dan budaya politik warisan dari Uni Soviet serta cengkeraman kepentingan strategis Rusia membuat wilayah eks-Soviet, khususnya Belarusia dan Armenia, menjadi sulit ter demokratisasi. Ordukhanyan (2019) menyebutkan bahwa negara-negara eks-Soviet yang lebih dekat dengan Rusia, salah satunya Belarusia, cenderung lebih tidak demokratis dibanding negara-negara eks-Soviet yang dekat dengan Uni Eropa, misalnya negara Baltik seperti Lithuania, Latvia, dan Estonia.
Bertahun-tahun gelombang protes ‘colour revolution’ – untuk menggambarkan dan menamai gerakan revolusi di beberapa negara eks-Soviet terhadap pemerintahan diktator – terjadi mulai dari Ukraina, Georgia, hingga Kyrgyzstan. Belarusia sendiri dengan “Revolusi Denim”nya pada tahun 2006 menemui kegagalan. Belarusia dinilai sebagai “The last impurity in Europe” dengan Presiden Alexander Lukashenko yang berkuasa selama 26 tahun. Belakangan ini muncul lagi protes selama berkuasanya Lukashenko. Protes ini disebut-sebut tidak hanya bertujuan melengserkan Lukashenko, tetapi berpotensi mendorong transisi demokrasi di Belarusia. Lantas, apa tantangan yang dihadapi protes-protes dan gerakan pro-demokrasi dalam mendorong transisi demokrasi di Belarusia? Lalu, apakah protes di tengah pandemi ini dapat mengakhiri musim dingin demokrasi di Belarusia?
Mengimplementasikan Tuntutan Masyarakat di Belarusia
Sejak 1991, negara-negara eks-Soviet mengalami krisis ekonomi yang mendelegitimasi rezim otokratis dan memunculkan harapan transisi demokrasi. Di Belarus, gelombang ini mengalami pembalikan setelah terpilihnya Lukashenko. Vysocina & Degteva (2018) menyebutkan bahwa Lukashenko kemudian bisa mempertahankan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan ekonomi, bahkan sempat meningkatkan taraf ekonomi dan kualitas hidup masyarakat melalui stabilitas politik dan hubungan dengan Rusia. Teori modernisasi telah gagal menjelaskan mengapa Moldova dan Ukraina, negara yang jauh lebih miskin dalam hal PDB per kapita, telah membuat lebih banyak kemajuan dalam demokrasi dibanding Belarusia. Namun, selama pandemi Belarusia mulai di bayang-bayangi dengan krisis ekonomi yang ditandai dengan menurunnya PDB dan nilai tukar Rubel. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat Belarusia yang mula turun ke jalan untuk memprotes kemerosotan ekonomi dan kebijakan Lukashenko yang dinilai meremehkan pandemi.
Salah satu teori Barbara Geddes (1999) menggambarkan demokrasi Belarusia saat ini berada di bawah rezim personalistik, dimana Belarus saat ini beberapa kali mengeksekusi oposisi dari kemungkinan terpilih. Transisi demokrasi pada rezim personalistik seringkali berakhir dengan protes populer, pemberontakan, hingga kudeta yang membuat pemimpin personalistik tersebut akhirnya dipenjara, menjadi eksil, atau bahkan terbunuh. Hal inilah yang membuat rezim personalistik menahan kekuasaan selama mungkin – termasuk dengan menindas oposisi – atau di beberapa kasus akhirnya melangsungkan negosiasi dengan oposisi. Dalam protes yang terbaru ini (‘colour revolution’), diwarnai ancaman kudeta terhadap Lukashenko yang cukup besar.
Berbeda dengan protes Armenia dalam Revolusi Velvet yang terlebih dahulu mengadakan negosiasi formal maupun tidak formal, terutama mereka yang ada di jajaran elite. Sehingga, gerakan ini mendapat legitimasi dan tatanan konstitusional, membuat protes berjalan dengan adanya stabilitas politik, tanpa kerusakan yang berlebihan. Hal ini kemudian meningkatkan legitimasi dari gerakan protes dan membuat orang-orang akhirnya mau dan yakin untuk turun ke jalan. Walaupun tidak ada proses negosiasi elite, protes di Belarusia secara konsisten dapat memberikan sinyal transisi damai, tanpa kekerasan, dan menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah yang bersifat lokal dan kontekstual.
Protes Belarusia harusnya dapat menolak pembingkaian protes secara simplistik sebagai bentuk keterlibatan Barat (terutama Uni Eropa). Karena tuntutan utamanya adalah penolakan hasil Pemilu Belarus yang memenangkan Lukashenko dan alasan lainnya seperti kecurangan Pemilu, stagnasi ekonomi, kegagalan penanganan pandemi covid-19, serta penindasan terhadap oposisi. Sehingga, Belarusia dapat belajar dari Protes Armenia yang memaksimalkan sumber daya dan tuntutan akar rumput yaitu tingginya korupsi dan stagnasi ekonomi di samping tuntutan politik. Walaupun dilema kebijakan luar negeri terjadi pasca-revolusi, Armenia berhasil menumbangkan praktik otoritarianisme dan mendorong transisi demokrasi (Giragosian, 2019).
Jalan Belarusia Menuju Demokrasi Melalui Kebangkitan Sipil
Belajar dari Revolusi Velvet di Armenia, menjatuhkan diktator atau praktik otoritarianisme tentunya tidak menjadi akhir, tetapi menjadi jalan baru untuk menumbuhkan dan merawat demokrasi. Protes ini dapat mendorong penyebaran demokrasi itu sendiri atau justru mengalami kematian seperti sebelum-sebelumnya. Ketahanan dan pertumbuhan ini kemudian menjadi penanda berseminya demokrasi. Keberhasilan dari gerakan ini akan sangat bergantung pada upaya keberlanjutan membudayakan resistensi dan partisipasi sipil secara non kekerasan. Lukashenko sendiri sebenarnya sudah memberikan sinyal (kemungkinan) akan turun dari jabatan dengan Pemilu lebih awal, tetapi opresi terhadap protes masih berlangsung.
Walaupun oposisi banyak yang ditangkap dan menjadi terpinggirkan, protes ini memiliki makna besar bagi proses transisi demokrasi Belarusia. Jaringan dan solidaritas masyarakat sipil ‘tuteishyia‘ - orang-orang lokal yang tinggal di sana – membuat protes ini terlokalisasi dan kontekstual serta mendorong kemunculan gerakan dan organisasi akar rumput lainnya. Berbeda dengan Armenia, protes ini muncul bukan dari proses top-down yang dilakukan oleh elite. Bagaimanapun juga, protes ini memiliki makna penting dalam membuka diskursus dan ruang tumbuhnya demokrasi melalui partisipasi politik sekaligus gerakan masyarakat yang bermakna bagi transisi demokrasi di Belarusia. Keberhasilan gerakan inilah yang pada akhirnya akan menjawab seberapa sentral peranan oposisi yang kuat dalam menumbuhkan demokrasi di setiap daerah eks-Soviet, mengingat model top-down ini menjadi pola umum keberhasilan transisi demokrasi sebelum-sebelumnya, termasuk di Armenia. Jika pun protes Belarusia ini tidak berhasil, kultur demokrasi di Belarusia tidak akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Di negara eks-Soviet yang menjalin hubungan erat dengan Rusia, protes dan aksi non kekerasan perlu memberikan sinyal transisi damai baik ke luar, maupun ke dalam dengan menyesuaikan latar belakang kultur masyarakat. Sehingga, demokrasi tidak selalu sebagai pengaruh Barat, tetapi bisa tumbuh melalui tuntutan akar rumput.
penulis : Friska & Alisa
DAFTAR PUSTAKA
Leschenko, N. (2008). The National Ideology and the Basis of the Lukashenko Regime in Belarus. Europe-Asia Studies, 60 (8).
Norling, N. & Cornell, S. (2016). The Role of the European Union in Democracy-Building in Central Asia and the South Caucasus. International IDEA.
Ohanyan, A. (2020). Belarusians can learn a lot from Armenia’s Velvet Revolution https://www.aljazeera.com/opinions/2020/8/21/belarusians-can-learn-a-lot-from-armenias-velvet-revolution/. Diakses pada 25 Februari 2021.
Ordukhanyan, E. (2019). “The Peculiarities of Democratization in Post-Soviet Countries: Current Situation and Trends”. International Journal of Scientific & Technology Research https://www.ijstr.org/final-print/nov2019/The-Peculiarities-Of-Democratization-In-Post-soviet-Countries-Current-Situation-And-Trends. Diakses pada 25 Februari 2021.
Vysochina, A. & Degteva, I. (2018). Causes of Democratic Failure in Belarus. https://sgpjournal.mgimo.ru/2018/2018-3/causes-of-democratic-transition