Kajian Isu #2 : China’s Repression of Uyghurs in Xinjiang and Indifference of Muslim Countries 

Kajian isu HIMAHI 2

China’s Repression of Uyghurs in Xinjiang and Indifference of Muslim Countries 

Sejak tahun 2017, sebanyak 1 juta orang dari etnis Uighur yang bermukim di Xinjiang tersebut ditahan oleh pemerintah Tiongkok di kamp “pendidikan”. Etnis Uighur adalah kelompok minoritas di Tiongkok yang berbahasa Turkic dan mayoritas beragama Islam Sunni. Mereka juga memiliki budaya yang mirip dengan orang Turki, Uzbekistan, Mongolia, Kazakhstan, dan Kirgistan. Etnis minoritas tersebut diduga berpotensi melakukan terorisme, dan diklaim oleh pemerintah ada yang berkeinginan untuk memisahkan Xinjiang dari Cina untuk kemudian mendirikan negara merdeka sendiri bernama Turkistan Timur, sehingga mereka ditahan di "pusat pelatihan politik" atau kamp pendidikan dengan alasan pencegahan terorisme, radikalisme, dan separatisme. 

Namun, terdapat dua dokumen resmi pemerintah Tiongkok yang bocor dalam dua investigasi: Xinjiang Papers oleh New York Times dan China Cables oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) membuktikan bahwa penahanan massal etnis Uighur tersebut dilakukan secara sistematis dan terencana. Mereka juga dikabarkan diperlakukan tidak manusiawi: dianiaya, para perempuan diperkosa dan disterilisasi,  bahkan anak-anak keluarga muslim Uighur diambil paksa oleh pemerintah Tiongkok. Para saksi dan aktivis juga mengatakan Tiongkok berusaha mengintegrasikan Uighur ke dalam budaya mayoritas Han secara paksa dengan menghapus adat istiadat Islam, termasuk dengan memaksa Muslim untuk makan daging babi dan minum alkohol sambil memberlakukan kerja paksa.

Kecaman dari berbagai negara--seperti Turki, Kanada, Inggris, dan beberapa anggota Dewan HAM PBB seperti Jerman--pun bermunculan menuntut transparansi pemerintah Tiongkok mengenai perlakuan mereka terhadap etnis minoritas tersebut, di mana saat ini dituding tidak hanya berhenti pada diskriminasi saja tapi telah melakukan genosida. Di sisi lain, negara-negara Muslim, seperti Iran, Arab Saudi, Indonesia, dan negara anggota OKI belum memberikan tanggapan yang berarti terhadap adanya indikasi pelanggaran HAM tersebut dengan dalih bahwa hal tersebut merupakan permasalahan domestik Tiongkok

Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan mengenai faktor lain dibalik perbedaan respon negara-negara muslim dengan negara barat terhadap permasalahan etnis muslim Uighur ini. Penulis beranggapan bahwa salah satu faktor terhadap bungkamnya negara-negara muslim adalah ketergantungan ekonomi mereka pada Tiongkok. Negara-negara tersebut memiliki kepentingan sendiri dengan negara Tiongkok yang akan terhambat jika mereka menyuarakan isu Uighur ini. Penulis ingin mengkaji bagaimana kepentingan ekonomi tersebut dapat mempengaruhi tanggapan negara negara muslim yang harusnya membantu “saudara” mereka di Xinjiang justru diam membisu melalui teori ketergantungan.

OKI dan Negara-Negara Mayoritas Muslim yang Hanya Menyaksikan

Perlu diketahui, etnis Xinjiang bukanlah kelompok minoritas pertama yang mendapatkan diskriminasi dari pemerintah Tiongkok, Dalam wawancara bersama portal media Deutsche Welle, Susanne Schröter (2019) menyebutkan , pemerintah Tiongkok adalah sebuah pemerintahan yang sangat otoriter dan mereka akan selalu berusaha untuk menundukkan oposisi dengan berbagai cara. Dulu ada gerakan Falun-Gong yang ditumpas dengan cara-cara esktrem, contoh lain adalah pendukung Dalai Lama di Tibet. Jadi tidak mengejutkan jika kita melihat bagaimana pemerintah Cina memperlakukan oposisi Uighur.

Uighur yang merupakan kelompok etnis yang beragama Islam, sudah barang tentu menjadi tanggung jawab bagi negara muslim lain termasuk anggota OKI untuk turut menyelesaikan kasus mereka,  namun pada kenyataannya yang terjadi justru kebalikannya. Iran misalnya, pemerintah mereka tidak melayangkan kritik terhadap kebijakan Tiongkok. Tiongkok adalah importir terbesar minyak dari Iran, banyak berinvestasi di sektor migas dan aktif melebarkan hubungan dagang dengan Iran. Pakistan dan Arab Saudi juga bungkam atas alasan ekonomi. Ironisnya, Pangeran Mahkota Saudi, Muhammad bin Salman bahkan memuji kebijakan minoritas Tiongkok. 

Schröter menambahkan, banyak negara Islam dipimpin oleh pemerintahan yang otoriter, khususnya negara Timur Tengah, mereka sering dikritik negara barat lantaran pelanggaran HAM. Hal ini berlaku untuk Mesir, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran dan sejumlah negara lain. Tiongkok sebaliknya sama sekali tidak tertarik pada urusan HAM. Negara manapun bisa berbisnis dengan Tiongkok tanpa perlu takut mendapat kritik terkait kebijakan internal masing-masing. Artinya bagi negara negara ini dengan Tiongkok yang tidak memandang permasalahan HAM dalam berbisnis, mereka menganggap Tiongkok adalah mitra yang penting dan lebih berharga ketimbang negara barat lainnya, akan sangat merugikan bagi mereka untuk kehilangan mitra dagang sebesar Tiongkok.

Kemudian bagaimana dengan negara kita Indonesia? Negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, mengapa Indonesia cenderung diam? Penelitian di Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyatakan sikap pemerintahan Presiden Joko Widodo yang tidak memberi respon atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis minoritas Uighur di Xinjiang terkait dengan kepentingan ekonomi. Salah satu faktor utama adalah dugaan ketergantungan Indonesia terhadap modal dari Tiongkok yang cukup besar, Amalia, L. E. (2018). IPAC menuturkan "Cina adalah mitra dagang terbesar dan juga investor kedua terbesar" di Indonesia. Indonesia juga melihat isu Uighur sebagai isu politik domestik Cina terkait separatisme, dan tidak dilihat sebagai pelanggaran HAM. 

Lalu bagaimana dengan OKI? Leatherdale-Gilholy (2021) mengatakan pada Juli 2019, lebih dari selusin negara anggota OKI ikut menandatangani piagam yang memuji pencapaian Tiongkok di bidang hak asasi manusia. Padahal Tiongkok justru menangkap, dan membunuh Muslim Uighur. Mudah untuk menemukan kejanggalan di balik standar ganda OKI, uang. Tiongkok menginvestasikan lebih dari 8 Miliar USD untuk mengencangkan proyek Belt and Road Initiative (Megaproyek Tiongkok yang menggabungkan sebagian besar negara mayoritas Muslim di dunia, dari Sudan hingga Indonesia), ditambah lagi pandemi hingga ketidakstabilan politik jangka panjang, membuat negara-negara Muslim mau tidak mau menggantungkan nasib perekonomian mereka pada Tiongkok. Beijing kini bahkan telah menjadi investor asing terbesar di kawasan Teluk dan memainkan peran besar di negara-negara mayoritas Muslim. 

 

Teori Ketergantungan sebagai Dasar Respon Acuh Negara Muslim

Dari hubungan ekonomi antara negara Tiongkok dengan negara-negara Muslim di atas, tentu menjadi relevan jika faktor isu domestik atau internasional tidak cukup menjadi dasar bungkamnya mereka terhadap permasalahan Uighur ini. Sebagaimana penjelasan salah satu pencetus teori ketergantungan, Theotonio Dos Santos (1970, p.231-236), bahwa negara-negara Muslim tersebut merupakan negara pinggiran (periphery) yang menggantungkan kehidupan ekonomi negaranya pada perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara pusat (core),  dalam hal ini adalah Tiongkok. 

Mengapa demikian? Negara periphery hanya dapat berkembang apabila ekonomi negara pusat juga berkembang atau maju. Sebaliknya, bila negara pusat mengalami kesulitan ekonomi sudah dipastikan bahwa negara pinggiran akan mengalami kesulitan. Sifat dasar eksploitatif tersebut menciptakan kondisi yang melahirkan pola hubungan negara yang walau dalam posisi saling menguntungkan namun derajat keuntungan tersebut asimetris dan tidak sama kuat yang kemudian menimbulkan ketergantungan. Sehingga, apabila negara-negara tersebut memilih untuk menentang kebijakan Tiongkok yang dapat mengancam putusnya hubungan ekonomi mereka--apalagi Tiongkok telah banyak menjadi investor dan importir terbesar banyak negara, salah satunya Indonesia--tentu akan menghambat kemajuan ekonomi negara mereka. Ketidakberdayaan mereka membuat tak sedikit anggota negara OKI dan negara Muslim lain yang ‘lepas tangan’ dengan kebengisan Beijing, asalkan uang mereka dapat terus mengalir, jelas negara muslim ini telah memperjelas kepentingannya, mengejar strategi keuangan, sedangkan hak asasi manusia hanyalah visi alternatif saja.

Berbeda halnya dengan negara-negara barat seperti Jerman, Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat yang telah mandiri secara ekonomi dan tidak bergantung terhadap perekonomian Tiongkok lebih ‘lantang’ dalam menyerukan kecaman atas pelanggaran HAM yang terjadi pada etnis Uighur tersebut, seperti dengan membawa isu ini menjadi pembahasan di sidang tahunan Dewan HAM PBB (Human Rights Council) yang ke-46 pada 22 Maret kemarin serta menuntut Tiongkok memberikan akses seluas-luasnya terhadap PBB untuk memantau langsung kondisi di Xinjiang dan melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran HAM di sana. Hal ini dikarenakan pertentangan tersebut tidak berimplikasi terhadap kepentingan negara mereka, bahkan ditujukan untuk menekan negara Tiongkok yang berhubungan dengan permasalahan lain, seperti Kanada yang memberlakukan status genosida pada Tiongkok yang juga dilatarbelakangi atas penahanan dua warga Kanada, yakni mantan diplomat Michael Kovrig dan pengusaha Michael Spavor oleh China maupun Amerika Serikat yang menunjukkan superioritasnya sebagai negara adidaya dengan posisi krusial di PBB yang tidak bisa disaingi pengaruhnya oleh kebangkitan ekonomi negara Tiongkok.




DAFTAR PUSTAKA

 

Alvi Soraya, D (2021). Mengapa OKI Terkesan tak Bersuara Sikapi Uighur China? https://www.republika.co.id/berita/qokm8c320/mengapa-oki-terkesan-tak-bersuara-sikapi-uighur-china/ diakses pada 28 Maret 2021

 

CNN Indonesia, Kanada Timbang Status Genosida terkait Aksi China pada Uighur, dipublikasi pada 17 Februari 2021, diakses pada 28 Maret 2021, URL: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210217051115-134-607122/kanada-timbang-status-genosida-terkait-aksi-china-pada-uighur 

 

Dos Santos, T. (1970) “The Structure of Dependence,” The American Economic Review, 60:2, pp. 231-236.

 

Ebbighausen, R. (2019). Kenapa Negara Muslim Bungkam Terhadap Cina Soal Uighur? https://www.dw.com/id/kenapa-negara-muslim-bungkam-terhadap-cina-soal-uighur/ diakses pada 27 Maret 2021

 

Rusmarina Dewi, Nevy, Maulana Irsyad, Mufarikhin, Ahmad Maulana Feriansyah. (2020). Dinamika Kemanusiaan Muslim Uyghur di Cina. Journal of Social Science Teaching, Vol.4 No.1, Hal.9

Mitra Kami

logo unmul2 logo ind2q logo venas3 logo aihii3