International Relations Perspective as a Guide to Understanding The Russia-Ukraine Crisis
Apa saja yang telah dilalui para aktor hingga sampai di titik ini? Bagaimana Perspektif Hubungan Internasional melihat aksi Rusia terhadap Ukraina..
Oleh: Farhan Rizqullah & Chevien Audry Ghinanzi Dhamhudy | 25 Februari 2022
Dilansir dari Independent, pada pidato malam hari, Rabu, 23 Februari, Presiden Rusia Vladimir Putin, mengatakan secara terbuka bahwasanya “operasi militer khusus” akan dimulai di Ukraina, tepat setelah pidato selesai, rentetan ledakan di beberapa kota dan indikasi-indikasi adanya operasi militer besar-besaran terjadi di seluruh Ukraina telah dilaporkan oleh berbagai organisasi pers dunia. Layanan perbatasan Ukraina mengatakan bahwa pasukan Rusia menyerang dari 3 arah, yaitu di timur, Belarus di utara, dan Krimea di selatan. Serangan juga terjadi di perbatasan Ukraina dan Rusia yaitu di Luhansk, Sumy, Kharkiv, Cernihiv, dan Zhytomyr. Serangan yang terjadi di daerah perbatasan kedua negara tersebut menargetkan pasukan patroil perbatasan dan personel di pos penjagaan. Rusia menegaskan bahwa hanya menargetkan basis militer, dan menjamin agar warga sipil tetap aman. Sampai berita ini ditulis, setidaknya melansir CNN Indonesia, Menteri Kesehatan Ukraina Viktor Lyashko mengatakan, terdapat 57 orang tewas dan 169 orang terluka dalam serangkaian invasi kemarin, Bahkan Rusia turut merebut reaktor nuklir Chernobyl dari Ukraina. Presiden Putin pun mengancam negara luar yang ikut campur dalam isu ini. Pada Senin, 21 Februari lalu, Putin lebih dulu mengakui kedaulatan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk di timur Ukraina, sehingga Kremlin dapat menempatkan pasukannya disana dengan dalih menjaga perdamaian, yang terjadi justru lebih fatal, yakni invasi terbuka bahkan hingga ke ibukota Ukraina, Kyiv.
Sebelumnya, Moskow terindikasi bersiap untuk aksi perang nyata, aktivitas-aktivitas semacam pemindahan peralatan militer, medis dan kantong darah telah disalurkan ke garis depan pertempuran. Amerika Serikat mengatakan bahwa Moskow telah mengumpulkan 150.000 tentara merah ke perbatasan Ukraina. Pemerintah Rusia sebenarnya berencana menarik mundur sebagian pasukannya pada 15 Februari lalu, namun faktanya hingga invasi terjadi, justru tidak demikian, bahkan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden mengatakan, bahkan Rusia telah menambahkan lebih banyak pasukan mereka ke perbatasan Ukraina, ia mengatakan bahwa Rusia akan menginvasi Ukraina dalam beberapa minggu kedepan. Duta besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva sebelumnya mengatakan bahwa Rusia tidak mau perang, ia menuding bahwa pemberitaan soal invasi tersebut adalah penggiringan opini oleh media dan politikus barat, untuk mencitrakan rusia sebagai negara agresif. Namun faktanya, bisa kita lihat pada saat tulisan ini dibuat, invasi langsung Rusia terjadi di Ukraina. Jadi apa sebenarnya penyebab konflik kedua negara ini?
Flashback ke Latar Belakang Terjadinya Krisis
Kalau kita analisa apa sebenarnya yang menyebabkan konflik bahkan invasi ke Ukraina? Invasi yang terjadi pada hari ini antara Russia dan Ukraina sebenarnya bisa ditarik lagi permulaannya ke era 90-an, tepatnya pada tahun 1991, saat Uni Soviet runtuh, Ukraina mendapat kemerdekaan dan memulai kedekatan mereka dengan Barat. Pada tahun 1997, Ukraina membuat Komisi Ukraina-NATO sebagai cara menjalin hubungan tanpa keanggotan resmi mereka pada pakta pertahanan ini, hal ini adalah benih pertama pandangan Rusia mengenai ancaman NATO di Ukraina mulai tumbuh.
Kemudian tensi meningkat drastis pada tahun 2014, massa demonstrasi Ukraina melengserkan Presiden Viktor Yanukovich yang dekat dengan Kremlin, hal ini dilatarbelakangi oleh penolakan beliau menandantangani perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa karena tekanan Rusia. Atas perbuatan Ukraina ini, Rusia membalas aksi mereka dengan mencaplok semenanjung Krimea, wilayah Ukraina, dan mendukung gerakan separatis pro-Rusia (Luhansk dan Donbass) di timur Ukraina dengan pasokan senjata. Pada 17 Maret 2014, parlemen Krimea mendeklarasikan kemerdekaan Krimea dari Ukraina dan memutuskan untuk bergabung dengan Federasi Rusia. Pada 18 Maret 2014, Rusia dan Krimea menandatangani perjanjian penggabungan Republik Krimea dan Sebastopol ke dalam Federasi Rusia. Pada 27 Maret 2014, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 68/262 yang menyatakan bahwa referendum Krimea tidak valid dan penggabungan Krimea ke dalam Rusia adalah ilegal. Untuk meredakan krisis di Krimea, pada 17 April 2014, ditandatangani perjanjian empat negara antara Rusia, Ukraina, AS, dan Uni Eropa di Jenewa. Perjanjian ini sebenarnya tidak benar-benar sepenuhnya mengakhiri konflik di Ukraina, tetapi setidaknya menunjukkan bahwa Kremlin dan Gedung Putih berupaya menghindari memburuknya situasi regional. Di bulan yang sama, pemberontak Donetsk dan Luhansk memproklamasikan pembentukan dua republik baru, dua bulan berikutnya mereka memohon diintegrasikan sebagai bagian dari Federasi Rusia, namun belum direspon Kremlin.
Pemerintah Ukraina menyetujui untuk melakukan amandemen konstitusi dan melindungi hak-hak minoritas serta melakukan dialog nasional setelah pemilu presiden 25 Mei 2014. Namun sayangnya, perjanjian empat negara tadi tidak menjelaskan perlucutan senjata dan amandemen konstitusi secara lebih detail. Dibalik kelemahannya, perjanjian ini merefleksikan kesamaan tujuan masing-masing pihak untuk menormalkan kembali situasi. Dalam hal ini, Putin menyadari bahwa Barat tidak akan menolerir separasi selanjutnya di Ukraina karena akan menyisihkan “buffer zone” antara Rusia dan Eropa. Sementara itu, secara politik dan diplomatik, AS dan Uni Eropa tidak akan mengeluarkan keputusan PBB dengan efek hukum, mengingat Rusia memiliki hak veto permanen sebagai anggota Dewan Keamanan PBB. Hanya sanksi ekonomi yang kerap dijatuhkan pada Rusia.
Kembali lagi kepada NATO, presiden Ukraina saat ini Volodymyr Zelensky yang secara menarik merupakan seorang komedian yang terjun ke dunia politik, adalah orang yang berbeda 180o dengan Presiden Yanukovich, Zelensky adalah orang yang dekat dengan barat, bahkan mendukung integrasi Ukraina sebagai anggota NATO, seperti kebanyakan rakyat Ukraina, "Tentu saja, kami ingin menjadi anggota NATO. Itu diatur dalam konstitusi Ukraina," kata Zelensky pada konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz, dilansir dari Sky News, Selasa 15 Februari 2022. Kedekatan Zelensky dan NATO ini membuat Kremlin makin tidak suka terhadap pemerintah Ukraina, setelah krisis kedua negara di 2014, dengan bergabungnya Ukraina dengan NATO sama saja dengan membiarkan musuh mereka beroperasi di depan pintu, setelah sebelumnya Trio Baltik (Estonia, Latvia, dan Lithuania) sudah bergabung terlebih dahulu dengan NATO. Secara rasional aksi Rusia dengan mempersenjatai pasukannya bahkan berakhir dengan invasi hari ini, bisa dilihat sebagai aksi yang mereka lakukan untuk meredam masuknya NATO ke Ukraina untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya. Lantas, bagaimana perspektif hubungan internasional memandang perilaku Rusia terhadap Ukraina?
Menyikapi Krisis Melalui Perspektif Hubungan Internasional
Para ahli dan akademisi masih tidak memiliki konsensus, setidaknya hingga hari ini apakah kebijakan Rusia terhadap Ukraina didorong oleh motif defensif atau justru oleh motif ofensif yang menuduh ambisi Moskow untuk meningkatkan power dan pengaruhnya di Eropa. Bagi pihak yang melihat dari perspektif defensif, hubungan Rusia-Barat-Ukraina ini merepresentasikan suatu fenomena dalam hubungan internasional yang dikenal sebagai “security dillema” yang artinya ketika satu pihak melakukan aktivitas defensif, justru ditafsirkan sebagai indikasi ofensif yang mengancam kedaulatan oleh pihak yang merasa demikian. Tapi satu hal yang pasti, Rusia menafsirkan ekspansi NATO ke timur sebagai hal yang ofensif, Kremlin menarasikan hal tersebut diatur oleh Washington, dan Rusia yang menjadi sasaran utama, walaupun Ukraina bukan merupakan bagian dari NATO, namun indikasi-indikasi kedua entitas nampaknya menunjukkan hubungan yang semakin dekat, tentu hal ini mengancam Rusia yang selama bertahun-tahun menganggap Ukraina sebagai buffer state antara Rusia dan NATO, dan pagar penghalang masuknya pengaruh barat ke negeri “beruang merah” itu.
Apabila dianalisis dengan tiga perspektif HI, yakni Realis, Liberal, dan Konstruktivis ada perbedaan pandangan yang mencoba menjelaskan tindakan-tindakan Rusia terhadap Ukraina. Dalam kerangka teori Realis, bisa disimpulkan bahwa aktivitas ini terjadi sebagai akibat dari ekspansi berlebihan oleh institusi barat. Secara spesifik, NATO yang dianggap oleh Rusia sebagai ancaman terhadap kedaulatan, integritas teritorial dan pengaruhnya atas negara-negara post-Soviet (termasuk Ukraina di dalamnya), yang dianggap Moskow sebagai kepentingan vital mereka. Pemikir realis tertentu seperti Mearsheimer John J. (2014) berpandangan bahwa "Amerika Serikat dan sekutu Eropanya (NATO) berbagi sebagian besar tanggung jawab atas krisis ini". Rusia yang menganggap dirinya sebagai kekuatan besar tentu harus melindungi kepentingan vitalnya dengan cara apa pun, dan itulah yang dilakukan Rusia saat ini di Ukraina, dan hal itu berhasil dilakukan di Belarusia.
Liberal melihat bahwa kondisi ini adalah konsekuensi dari negara negara barat yang mengabaikan Rusia sebagai aktor penting di era kontemporer dan kurangnya komunikasi antara timur dan barat yang sangat vital untuk memahami kondisi yang terjadi. Selain itu, mereka menyebutkan tatanan domestik kotor dan dikuasai elit yang saat ini terjadi di Rusia adalah tindakan yang melonggarkan (permisif) terhadap terjadinya kebijakan politik yang agresif. Perlu diketahui Rusia adalah negara yang dikuasai kelompok elit oligarki, memang pada hakikatnya jabatan Presiden dimiliki oleh Vladimir Vladimirovich Putin, namun dibelakang layar, kekuasaan Rusia bisa dikatakan dimiliki oleh para oligarki, salah satu oligarki yang terkenal adalah, Roman Abramovich, pemilik klub sepakbola Chelsea FC. Oligarki ini sangat krusial posisinya di pemerintahan Rusia, sebab setiap kebijakan pemerintah Rusia, baik itu politik terutama ekonomi bisa dikatakan ada campur tangan oligarki Rusia di dalamnya dan secara ekstrem dapat membuka jalan perang terjadi apabila mereka menghendaki, kasus korupsi pun tak lepas dari pemerintahan oligarki di Rusia, kebangkitan oligarki ini tak lepas dari privatisasi di Rusia pasca Soviet. Pemikir liberal seperti Thomas Paine, Jonathan Dymond, dan Michael Howard menambahkan bahwa “perang adalah hasil dari sistem domestik kotor yang bertujuan untuk menggunakan perang bukan untuk kemuliaan atau kelangsungan hidup tetapi untuk memberi makan sistem yang korup” (Howard, 1978).
Konstruktivis melihat masalah ini dari perspektif sejarah. Mereka mengklaim bahwa perilaku elit-elit Rusia yang memanfaatkan otoritas domestik mereka secara maksimal, yang bersifat permisif terhadap politik agresif, mendorong Rusia untuk bertindak seperti itu. Ia juga menambahkan bahwa norma, ide, kepercayaan, dan identitas Rusia telah berkontribusi pada terjadinya perilaku ini. Seperti "Identitas adalah dasar dari kepentingan” (Wendt, 1992). Bahkan ada suatu istilah yang disebut Russophobia atau ketakutan berlebihan terhadap Rusia, sangat terkait dengan agresifitas Rusia yang berhubungan dengan kultur dan identitas rakyat Rusia, terutama di era Soviet yang nampaknya masih bertahan sampai sekarang, bahkan setelah negara tersebut runtuh. Konstruktivis juga menyangkal gagasan bahwa konflik itu terutama terjadi akibat ekspansi barat, secara khusus NATO. Argumennya ialah bahwa Rusia telah mempertanyakan kedaulatan Ukraina bahkan sebelum tahun 2000-an, ketika negara itu memiliki presiden dan pemerintahan yang pro-Rusia.
Bibliografi
Burchill et al. (2013). Theories of International Relations. Macmillan International Higher Education.
Waltz, Kenneth (1979). Theory of International Politics. McGraw-Hill.
Howard, M. (1978). War and the liberal conscience. Rutgers University Press.
United Nations (2014) 68/262. Territorial integrity of Ukraine. https://undocs.org/en/A/RES/68/2622
Mearsheimer, J. J. (2014). Why the Ukraine Crisis is the West’s Fault: The liberal delusions that provoked Putin. Foreign Affairs, 93(5), 77–89. http://www.jstor.org/stable/244833066
Wendt, A. (1992). Anarchy is what states make of it: the social construction of power politics. International organization, 46(2), 391-42 https://doi:10.1017/S00208183000277644
Fisher, M. (2014) Everything you need to know about the 2014 Ukraine crisis. Vox https://www.vox.com/2014/9/3/18088560/ukraine-everything-you-need-to-know diakses pada 13 Februari 2022
Rusmadi, M. (2022). Soal Pemberitaan Terkini Konflik Dengan Ukraina Ini, Tanggapan Dubes Rusia Di Jakarta. Rakyat Merdeka https://rm.id/baca-berita/internasional/111059/soal-pemberitaan-terkini-konflik-dengan-ukraina-ini-tanggapan-dubes-rusia-di-jakarta diakses pada 14 Februari 2022
Sky News (2022). Ukraine-Russia Crisis: Who are the key player as war risks breaking out between kyiv and the kremlin https://news.sky.com/story/ukraine-russia-crisis-who-are-the-key-players-as-war-risks-breaking-out-between-kyiv-and-the-kremlin-12541782 diakses pada 17 Februari 2022
Sarkar, Marcus & Giordano (2022). Ukraine-Russia news – live: Putin declares war as Russian ground troops cross border. Independent https://www.independent.co.uk/news/world/europe/russia-ukraine-news-war-putin-invasion-b2021232.html diakses pada 24 Februari 2022
Strobel, Gordon, Youssef (2022). Russia Moves More Weaponry Toward Ukraine, Keeps the West Guessing. The Wall Street Journal https://www.wsj.com/articles/russia-moves-more-weaponry-toward-ukraine-keeps-the-west-guessing-11642161605 diakses pada 24 Februari 2022
CNN Indonesia (2022). 57 Orang Tewas dan 169 Luka Sepanjang Invasi Rusia ke Ukraina
https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220225031145-134-763821/57-orang-tewas-dan-169-luka-sepanjang-invasi-rusia-ke-ukraina diakses pada 25 Februari 2022